Sabtu, 09 November 2013

Nafaits Tsamarat: Potret Para Pemimpin Akhir Zaman

  • Para pemimpin sesat: Dari Aus yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«إِنِّي لاَ أَخَافُ عَلىَ أُمَّتيِ إِلاَّ الأَئِمَّةَ المُضَلِّينَ»
Aku tidak takut (ujian yang akan menimpa) pada umatku, kecuali (ujian) para pemimpin sesat.” (HR. Ibnu Hibban). Sufyan as-Tsauri menggambarkan mereka dengan mengatakan: “Tidaklah kalian menjumpai para pemimpin sesat, kecuali kalian mengingkari mereka dengan hati, agar amal kalian tidak sia-sia.
  • Para pemimpin bodoh: Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Ka’ab bin Ajzah:
«أَعَاذَكَ اللهَ مِنْ إمَارَةِ السُّفَهَاءِ »
Aku memohon perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.” (HR. Ahmad). Dalam hadits riwayat Ahmad dikatakan bahwa pemimpin bodoh adalah pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah Saw. Yakni pemimpin yang tidak menerapkan syariah Islam.
  • Para pemimpin penolak kebenaran, penyeru kemungkaran. Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ يَأْمُرُونَكُمْ بِمَا لاَ تَعْرِفُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا تُنْكِرُونَ فَلَيْسَ لاِؤلَئِكَ عَلَيْكُمْ طَاعَةٌ»
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).
  • Para penguasa yang memerintah dengan mengancam kehidupan dan mata pencaharian. Dari Abu Hisyam as-Silmi berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ يَمْلِكُوْنَ رِقَابَكُمْ وَيُحَدِّثُوْنَكُمْ فَيَكْذِبُونَ، وَيَعْمَلُوْنَ فَيُسِيؤُونَ، لا يَرْضَوْنَ مِنْكُمْ حَتَّى تُحَسِّنُوا قَبِيْحَهُمْ وَتُصَدِّقُوْا كَذِبَهُمْ، اعْطُوْهُمُ الحَقَّ مَا رَضُوا بِهِ»
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka berbicara (benjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari (janjinya). Mereka melakukan pekerjaan, lalu pekerjaan mereka itu sangat buruk. Mereka tidak senang dengan kalian hingga kalian menilai baik (menuji) keburukan mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta kalian memberi pada mereka hak yang mereka senangi.” (HR. Thabrani).
  • Para pemimpin yang mengangkat pembantu orang-orang jahat, dan mengakhirkan shalat (mengabaikan syariah). Dari Abu Hurairah ra yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
« يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا»
Akan ada di akhir zaman para penguasa sewenang-wenang, para pembantu (pejabat pemerintah) fasik, para hakim pengkhianat, dan para ahli hukum Islam (fuqaha’) pendusta. Sehingga, siapa saja di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka sungguh kalian jangan menjadi pengunpul pajak, pemimpin, dan polisi.” (HR. Thabrani).
  • Para pemimpin diktator (kejam). Rasulullah Saw bersabda:
«إِنَّ شَرَّ الوُلاَةِ الحُطَمَةُ»
Sesungguhnya seburuk-buruknya para penguasa adalah penguasa al-huthamah (diktator).” (HR. Al-Bazzar). Pemimpin al-huthamah (diktator) adalah pemimpin yang menggunakan politik tangan besi terhadap rakyatnya.
Dari Abu Layla al-Asy’ari bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«وسَيَلي أُمَرَاءُ إنْ اسْتُرْحِمُوا لَمْ يَرْحَمُوا، وإنْ سُئِلُوا الحَقَّ لَمْ يُعْطُوا، وإِنْ أُمِرُوا بالمَعْرُوفِ أَنْكَرُوا، وسَتَخَافُوْنَهُمْ وَيَتَفَرَّقَ مَلأُكُمْ حَتى لاَ يَحْمِلُوكُمْ عَلى شَيءٍ إِلاَّ احْتُمِلْتُمْ عَلَيْهِ طَوْعاً وَكَرْهاً، ادْنَى الحَقِّ أَنْ لاَ تٌّاخُذُوا لَهُمْ عَطَاءً ولا تَحْضُروا لَهُمْ في المًّلاَ»
Dan berikutnya adalah para pemimpin jika mereka diminta untuk mengasihani (rakyat), mereka tidak mengasihani; jika mereka diminta untuk menunaikan hak (rakyat), mereka tidak memberikannya; dan jika mereka disuruh berlaku baik (adil), mereka menolak. Mereka akan membuat hidup kalian dalam ketakutan; dan memecah-belah tokoh-tokoh kalian. Sehingga mereka tidak membebani kalian dengan suatu beban, kecuali mereka membebani kalian dengan paksa, baik kalian suka atau tidak. Serendah-rendahnya hak kalian, adalah kalian tidak mengambil pemberian mereka, dan tidak kalian tidak menghadiri pertemuan mereka.” (HR. Thabrani).
  • Para penguasa zindik (pura-pura iman). Dari Ma’qil bin Yasar bahwa Rasulullah Saw bersabda:
«صِنْفَانِ مِنْ أُمَّتِي لَنْ تَنَالَهُمَا شَفَاعَتِي: إِمَامٌ ظَلُومٌ، وَكُلُّ غَالٍ مَارِقٍ»
Dua golongan umatku yang keduanya tidak akan pernah mendapatkan syafa’atku: pemimpin yang bertindak lalim, dan orang yang berlebihan dalam beragama hingga sesat dari agama.” (HR. Thabrani)

Haji Mabrur dan Ciri-cirinya

Dalam sebuah riwayat yang dituturkan oleh Abu Hurairah ra disebutkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan Rasul-Nya?” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” Beliau kembali ditanya, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab lagi, “Haji mabrur.” (Muttafaq ‘alaih).
Hadits ini sejatinya telah cukup menjadikan setiap Muslim untuk selalu mempertahankan keimanannya yang lurus kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, selalu merindukan bisa berjihad di jalan-Nya serta selalu merindukan bisa menunaikan ibadah haji minimal sekali selama hidupnya. Khusus terkait ibadah haji, kebanyakan Muslim bukan hanya rindu, tetapi juga banyak yang bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk bisa mewujudkan kerinduannya itu, yang sejatinya menjadi mimpi sekaligus salah satu cita-citanya itu. Karena itulah, tidak aneh jika, misalnya, banyak yang kemudian menabung bertahun-tahun demi mewujudkan mimpi dan cita-citanya beribadah haji ke Tanah Suci.
Khusus bagi seorang Muslimah, pahala ibadah haji disetarakan dengan pahala jihad di jalan Allah SWT. Bahkan bagi Muslimah, ibadah haji adalah ‘jihad’ yang paling utama. Dalam hal ini Aisyah ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, kami melihat jihad adalah amalan yang paling utama. Bolehkah kami berjihad?” Baginda Rasulullah SAW, “Akan tetapi, jihad yang paling utama (bagi kaum Muslimah, pen.) adalah haji mabrur.” (HR al-Bukhari).
Begitu utamanya, ibadah haji akan menghapuskan dosa-dosa pelakunya sehingga ia seperti bayi yang baru lahir alias tidak memiliki dosa. Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra. “Siapa saja yang menunaikan ibadah haji, sementara di dalamnya dia tidak berbuat dosa dan kefasikan, maka dia akan kembali seperti pada hari saat ia dilahirkan oleh ibunya.” (Muttafaq alaih).
Baginda Rasulullah SAW juga pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Amr bin al-‘Ash, “Siapa saja yang datang (Ke Baitullah) untuk menunaikan ibadah haji ikhlas semata-mata karena Allah, Allah pasti akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, dan Allah akan memberikan syafaat kepada orang-orang yang dia doakan.
Ibn Abbas ra menuturkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pun pernah  bersabda, “Siapa saja yang memasuki Baitullah, dia masuk dalam satu kebajikan dan keluar dari suatu keburukan dan dia akan diampuni.” (HR Ibn Khuzaimah).
Jabir bin Abdillah ra menuturkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pun pernah bersabda, “Siapa saja yang telah menyelesaikan rangkaian ibadah haji, lalu kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang akan datang.” (HR Abu Ya’la)  (Lihat: Al-Qabuni, Basyarah al-Mahbub bi Takfir adz-Dzunub, I/10-11).
Lebih dari itu, Baginda Rasulullah SAW bahkan turut mendoakan orang-orang yang beribadah haji. Baginda Rasulullah SAW pernah berdoa khusus bagi orang-orang yang beribadah haji, sebagaimana dituturkan oleh Abu Hurairah ra, “Ya Allah, ampunilah orang yang menunaikan ibadah haji dan ampunilah siapa saja yang memintakan ampunan untuk dirinya.” (HR ath-Thabrani dan Ibn Khuzaimah). Doa beliau tentu saja pasti dikabulkan oleh SWT.
Keutamaan lain ibadah haji tentu saja karena bisa mengantarkan pelakunya masuk surga. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bersabda, “Dari satu ibadah umrah ke ibadah umrah yang lain menjadi kafarat (penghapus dosa) di antara keduanya. Adapun haji mabrur tidak ada balasan (bagi pelakunya) kecuali surga.” (Muttafaq ‘alaih).
Lalu apa tanda atau ciri-ciri dari haji mabrur itu? Haji mabrur bisa dikenali tandanya saat ibadah haji itu ditunaikan. Disebutkan bahwa haji mabrur adalah orang yang saat menunaikan ibadah haji tidak melakukan kemaksiatan apa pun. (Lihat: Imam an-Nawawi, Riyadh ash-Shalihin, I/41)
Ciri lain haji mabrur ditegaskan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sabdanya, “Haji mabrur itu tidak ada balasannya selain surga.” Rasul SAW  kemudian ditanya, “Apa ciri haji mabrur itu.” Beliau menjawab, “Selalu berkata-kata yang baik dan biasa memberi makan (kepada orang-orang yang membutuhkan, pen.). (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, II/39).
Menurut Imam al-Ghazali, ciri-ciri haji mabrur itu adalah pelakunya (saat kembali dari menunaikan ibadah haji) menjadi orang yang zuhud terhadap dunia, selalu rindu terhadap akhirat (surga) dan senantiasa berusaha mempersiapkan diri untuk berjumpa dengan Allah Pemilik Ka’bah setelah berjumpa dengan Ka’bah (Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, I/272).
Semoga kita bisa meraih keutamaan haji mabrur. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [] abi

Menjemput Ampunan Allah SWT


(Al-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-42)
قَالَ اللهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ مَا دَعَوْتَنِى وَرَجَوْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ عَلَى مَا كَانَ فِيكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ لَوْ بَلَغَتْ ذُنُوبُكَ عَنَانَ السَّمَاءِ ثُمَّ اسْتَغْفَرْتَنِى غَفَرْتُ لَكَ وَلاَ أُبَالِى يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِى بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِى لاَ تُشْرِكُ بِى شَيْئًا لأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً
Allah SWT berfirman, “Wahai anak Adam, sungguh selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, Aku mengampuni dosa-dosamu dan tidak Aku pedulikan lagi.  Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu sampai menyentuh langit, kemudian engkau meminta ampunan-Ku, niscaya Aku mengampuni kamu dan tidak Aku pedulikan lagi.  Wahai anak Adam, sungguh seandainya engkau datang kepada-Ku dengan kesalahan (dosa) hampir memenuhi bumi, kemudian engkau menjumpai-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu pun, niscaya Aku datang kepada kamu dengan membawa ampunan sepenuh bumi pula.” (HR at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ad-Darimi, adh-Dhiya’ dan ath-Thabari).
Hadis ini memberikan panduan bagaimana menjemput ampunan Allah SWT. Hadis ini menjelaskan perkara sangat penting,  yakni tiga sebab untuk meraih ampunan Allah SWT.  Pertama: doa disertai harapan—mâ  da’awtanî wa rajawtanî.  Allah SWT juga berfirman:
وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا إِنَّ رَحْمَةَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS al-A’raf [7]: 56).
Dalam berdoa hendaknya diperhatikan adab-adab berdoa, di antaranya yang sudah dijelaskan dalam syarh al-Arba’un hadis ke-10. Di antaranya: menggunakan seruan: ya Rabb, alLâhumma, atau asmâ’ al-husna; didahului dengan amal shalih; menampakkan kerendahan dan ketundukan di hadapan Allah SWT.  Diiringi dengan menjauhi penghalang pengabulan doa di antaranya: makan, memakai dan membelanja-kan harta haram; doa disertai kezaliman, maksiat atau memutus silaturrahim.
Doa disertai harapan itu juga hendaknya memenuhi syarat-syaratnya. Di antara syaratnya yang penting adalah hadirnya hati dan keyakinan doa akan diijabah.  Nabi saw. bersabda:
ادْعُوا اللهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ الله لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
Berdoalah kalian kepada Allah, sementara kalian merasa yakin diijabah. Ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menjawab doa yang berasal dari hati yang lalai dan main-main atau sibuk dengan selain Allah (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim).
Kedua: istighfar.  Meski dosa hamba itu sangat banyak hingga menyentuh langit sebagai kiasan karena banyaknya dosa itu, jika hamba tersebut ber-istighfar kepada Allah SWT, sesuai hadis di atas, niscaya Allah ampuni (Lihat: QS an-Nisa [4]: 110).
Lebih dari itu, Allah SWT memerintahkan kita untuk ber-istighfar memohon ampunan kepada-Nya, seperti dalam QS al-Baqarah [2] : 199 dan Hud [11]: 3.  Di antara karakter orang yang bertakwa, apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, ia mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Allah SWT (QS Ali Imran [3]: 135).
Istighfar hendaknya diperbanyak.  Nabi saw. yang maksum/bebas dari dosa saja ber-istighfar dalam sehari lebih dari 70 kali (HR al-Bukhari), atau sebanyak 100 kali (HR Muslim).
Yang afdhal dalam ber-istighfar dimulai dengan memuji Allah SWT, lalu mengakui dosa, kemudian meminta kepada Allah SWT ampunan.  Rasul saw. bersabda:
سَيِّدُ اْلاِسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّى، لاَ إِلَه إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِى وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِ كَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَىَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِى، فَاغْفِرْلِى، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
Penghulu istighfar adalah engkau mengucapkan, “Ya Allah, Engkau adalah Rabb-ku, tiada tuhan kecuali Engkau; Engkau menciptakan aku dan aku hamba-Mu. Aku akan menetapi perjanjian dan janji-Mu sebatas kemampuanku. Aku meminta perlindungan kepada-Mu dari keburukan apa yang aku lakukan. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku. Aku pun mengakui dosaku kepadamu. Karena itu ampunilah aku karena sesungguhnya tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau (HR al-Bukhari, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ahmad).
Di antara redaksi istighfar yang dicontohkan dalam hadis, banyak juga yang disambungkan dengan pernyataan tobat kepada Allah. Hal itu juga diisyaratkan di dalam al-Quran (QS Hud: 3).  Hanya saja, istighfar dan tobat itu harus diiringi dengan berhenti dari kemaksiyatan yang dilakukan. Jika tidak, justru kecelakaanlah yang didapat.  Rasulullah saw. bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِّيْنَ يُصِرُّوْنَ علَى مَا فَعَلُوْا وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ
Celakalah orang-orang yang terus saja melakukan dosa yang mereka lakukan, sementara mereka tahu (HR Ahmad).
Bahkan Ibn Abiy ad-Dunya mengeluarkan riwayat marfu’ dari Ibn Abbas:
اَلتَائِبُ مِنَ الذَّنْب كَمَنْ لا ذَنْبَ لَهُ، وَالْمُسْتَغْفِرُ مِنْ ذَنْبٍ وَهُوَ مُقِيْمٌ عَلَيْهِ كَالْمُسْتَهْزِيْءِ بِرَبِّهِ
Orang yang bertobat dari dosa seperti orang yang tidak punya dosa. Orang yang beristighar dari dosa, sementara ia terus melakukan dosa, adalah seperti orang yang mengolok-olok Rabb-nya.
Ketiga: tauhid. Ini adalah sebab terbesar.  Allah SWT menegaskan (QS an-Nisa’ [4]: 48), tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Allah akan mengampuni dosa apapun selain syirik, tentu kalau hamba ber-istighfar dengan memenuhi sebab dan syaratnya dan kosong dari penghalang ampunan.  Dengan demikian, dalam hadis di atas, Allah SWT menyatakan jika seorang hamba datang menjumpai-Nya disertai tauhid, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, meski dia membawa dosa hampir memenuhi bumi, niscaya Allah SWT datang dengan ampunan yang memenuhi bumi pula. Di sinilah pentingnya kita selalu menjaga diri dari kesyirikan, kesyirikan kecil apalagi yang besar. [Yahya Abdurrahman]