Rabu, 14 Agustus 2013

Tahapan tasawuf Akhlaqi Yang Kedua Tajalli

Tajalli  adalah orang-orang yang telah melaksanakan takhalli dan tahalli secara baik dan sempurna dengan riyadhah dan mujahadah yang terus menerus, sehingga dia sampai kepada tingkatan hakikat yang akhirnya menjadi kekasih Allah SWT. Pengamal tarekat yang sampai kepada tingkatan ini, terbukalah hijabnya dan telah dekatlah dia kepad Allah SWT, sehingga dia mengetahui siapa yang dia imani, kepada siapa dia beribadat dan mengabdi, yaitu Allah SWT yang maha agung dan maha tinggi dengan kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
Begitu juga orang yang telah sampai ke tingkat ini, telah mengetahui hakikat kenabian dan kerasulan dari Allah SWT dan kesempurnaan sahabat-sahabatnya. Mereka mengetahui dan bahkan menghayati apa yang telah disampaikan Rusulullah SAW, apa yang akan ditemui manusia setelah mati, yaitu antara lain nikmat dan azab kubur, kiamat dan keadaannya, neraka dan azabnya, surga dengan nikmatnya, dan sebagainya. Dengan kata lain pengamal tarekat yang sudah sampai ke tingkat ini, telah terbukalah hijab (kasyaf) baginya apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sejak dari alam yang tinggi sampai ke alam yang rendah, sejak dari kejadian yang telah lalu sampai dengan kejadian-kejadian yang akan datang (Amin Al Kurdi 1994 : 364-365).
Sesungguhnya orang yang telah sampai ke tingkat tajalli tertinggi, dia telah melewati fase-fase, riyadhah dan mujahadah yang sungguh-sungguh dan terus menerus, sehingga kehidupannya selalu dalam keadaan muraqabah yang terus menerus, akhiranya memperoleh musyahadah, lalu makrifat dan akhirnya fana fillah.
Orang yang fana fillah, tajalli-lah  baginya Nur Uluhiyah, sehingga dia mengetahui rahasia-rahasia yang ghaib, karena telah hilang sifat-sifat basyariyahnya yang menjadi hijab untuk dapat kasyaf.
Pelaksanaan
Firman Allah SWT : “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, maka berkatalah Musa :”Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”, Tuhan berfirman : “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi melihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sedia kala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya Nampak bagi gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata :” Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Q.S. Al A’raf  7: 143).
Dari ayat ini kita dapat mengambil kesimpulan, orang yang fana fillah, hingga dia menjadi tajalli, adalah orang yang pada waktu itu sedang munajat beribadah kepada-Nya. Fana dan tajalli adalah kehendak Allah yang merupakan rahmat dan karunia daripada-Nya. Ayat ini menjadi dalil adanya fana dan adanya tajalli bagi para Nabi dan Rasul dan bagi aulia-aulia Allah yang menjadi kekasih-Nya.

Tahapan Dalam tarekat Akhlaqi


Dalam Tarekat ada 3 (tiga) metode, sekaligus merupakan tiga tingkatan untuk membersihkan jasadi dan diri rohani, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pengamal tarekat atau salik adalah taubat dan istighfar dari dosa besar maupun dosa kecil. Si salik harus berniat, berjanji dan ber’azam untuk tidak lagi mengulangi dosa-dosa itu untuk selamanya. Seiring dengan itu si salik berniat, berjanji dan ber’azam pula, untuk mengisi seluruh hidup dan kehidupannya dengan ‘akmalush shalihat yang wajib maupun yang sunat.
Taubat dan istighfar bagi si salik ibarat suatu fundamen pada suatu bangunan atau ibarat akar dari suatu pohon. Tidak mungkin ada bangunan tanpa fondamen dan tak mungkin ada pohon tanpa akar.
Demikian pula halnya, tidak mungkin jadi pengamal tarekat tanpa taubat nashuha dan istighfar yang sungguh-sungguh dihayati dan dilaksanakan. Bersihkan dulu lobang pondasi, sebelum meletakkan batu pertama bangunan. Bersihkan dulu lobang tempat menanam pohon sebelum pohon itu ditanam. Bersihkan dulu lobang diri rohani si salik, sebelum melangkah mengamalkan peramalan tarekat.
Pembersihan dan pengosongan diri rohani dari segala dosa dan noda dari sifat buruk dan tercela, menghentikan segala perbuatan fakhsyak dan mungkar yang merusak, dan seterusnya. Itulah kajian yang dinamakan takhalli.
Setelah melaksanakan takhalli, tindak lanjut berikutnya adalah mengisi tempat yang kosong itu dengan amalan-amalan yang saleh, yang digerakkan oleh sifat-sifat yang terpuji, yang tumbuh dari hati atau diri rohani yang telah bersih tadi. Pembersihan dan pengisian tidak mungkin terlaksana atau menjadi kenyataan sekaligus, tetapi harus dilaksanakan dengan riyadhah (latihan) dan mujahadah (perjuangan yang sungguh-sungguh), yang dilaksanakan terus menerus sampai akhir hayat. Sebab bibit fujur (buruk) dan bibit takwa (baik) tetap ada dan telah tertanam sejak manusia masih dalam alam rahim ibu kita. Yang dilakukan diri insani hendaklah mengalahkan bakat, bibit fujur, sehingga bakat, bibit takwa menjadi dominan, menjadi kenyataan dalam kehidupan insani.
Firman Allah SWT : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S. Asy Syams 91 : 7 – 10)
Dari ayat tersebut,dengan jelas sekali Allah SWT memberitahukan, bahwa di dalam diri manusia ada dua bibit atau bakat yang berlawanan, yaitu bibit fujur (buruk) dan bibit takwa (baik). Bibit fujur tumbuh dan berkembang sesuai dengan kehendak hawa nafsu duniawiyah yang buruk. Dalangnya adalah iblis dan syaetan. Bibit takwa tumbuh dan berkembang sesuai dengan kehendak fitrah manusia yang bersih berlandaskan hidayah dari Allah SWT. Mitra pengendalinya adalah malaikat, sebagai aparat Allah mengarahkan  manusia kepada takwa.
Beruntunglah orang yang berusaha mensucikan diri jasmani dan diri rohaninya, dan merugilah orang yang mengikuti hawa nafsu yang buruk yang mengotori dirinya.
Mensucikan diri jasadi dan diri rohani harus simultan dan serentak. Dosa yang dilakukan oleh diri jasadi, kita namakan dosa lahir, sedangkan dosa yang dilakukan oleh diri rohani kita namakan dosa batin, sedangkan perbuatannya itu sendiri kita namakan maksiat lahir dan maksiat batin. Karena itu mensucikannya juga harus secara lahir dan secara batin.